Kuatbaca – Sejumlah panelis dari mancanegara membacakan kisah sejarah yang tak biasanya ditemukan sebelumnya namun berkaitan dengan kehidupan sehari-hari bagi masyarakat di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, Singapura, dan Filipina. Hal itu diceritakan dalam pagelaran Jaktent yang diadakan di Taman Ismail Marzuki, Minggu (11/8/2024).
Acara ini di moderator oleh jurnalis asal Indonesia, Sebastian Partogi dengan mengundang keempat penulis yaitu Marylyn Tan dari Singapura, Glenn Diaz asal Filipina, serta Okky Madasari dan Dhianita Kusuma Pertiwi dari Indonesia.
Banyak cerita-cerita menarik yang kental akan suasana dan latar belakang Asia Tenggara. Mulai dari kasus pembunuhan politik di Filipina dalam buku Yniga oleh Glenn Diaz, Kemudian cerita berbau mistis namun sensual mengenai mitos Nasi Kangkang oleh Marylyn Tan, hingga mengenai pemberdayaan perempuan hingga diskriminasi gender yang dikisahkan oleh Okky Madasari.
1. Seniman dan Penulis Harus Saling Dukung
Masalah yang dialami oleh para seniman atau penulis di Asia Tenggara ialah diantara mereka tidak saling berjejaring atau mengenal satu sama lain. Padahal hal itu diperlukan untuk membangun komunikasi serta terciptanya sikap saling dukung dalam komunitas, kepenulisan, terutama jika terjadi reaksi negatif saat membahas isu-isu sensitif.
Glenn Diaz menilai bahwa diantara penulis Asia Tenggara perlu saling bertemu. Meski demikian, bahasa tetap menjadi kendala dalam komunikasi maupun mengenali karya sastra.
“Dalam hal ini, Anda harus melibatkan seluruh industri penerbitan, yang mana sangat sulit. Agar itu terjadi, penerjemahan sangat penting (karena) sayangnya saya harus mengakses karya-karya penulis dan sutradara Indonesia. Saya dapat membaca karya tulis Singapura karena banyak dari mereka menulis dalam bahasa Inggris, tetapi yang lainnya harus membaca dalam bentuk terjemahan. Jadi ya, ada mekanisme apa pun untuk mendukung literasi dan penerbitan buku, sehingga kita dapat berdiskusi lebih baik tentang rekomendasi ini.” ujar Glenn
2. Perlunya Mendekatkan Kultur antar Negara Asia Tenggara
Menurut Dhianita, hal ini terjadi karena masyarakat kita, utamanya anak muda lebih mengenal kultur dari dunia barat seperti Amerika Serikat, Inggris dan Eropa dibandingkan mengetahui budaya-budaya yang sebenarnya memiliki kemiripan di antara negara-negara Asia Tenggara. ASEAN pun minim pembahasan mengenai kemiripan kultur, budaya, dan ras diantara negara-negara anggotanya.
“Kita berbicara tentang perbedaan dan juga sesuatu yang dapat hubungkan kita. Tentu kita terhubung dengan masa lalu. Kita telah berbagi sejarah kolonialisme, dan pasca kolonialisme. Jadi kita berbagi penderitaan, sebagai bagian dari Asia Tenggara. Kemudian mengenai ASEAN saya katakan, mereka tak melakukan apapun tentang ini. Mereka melakukan konferensi atau diskusi hanya utuk membahas seperti PDB dan hal-hal serupa. Tetapi mereka tidak menyentuh hal-hal seperti kemanusiaan yang melintasi batas negara, ras dan segalanya,” ujar Dhianita.
Serupa dengan itu Okky Madasari meresahkan pengaruh budaya asing dalam kehidupan sosial-masyarakat di Asia Tenggara, khususnya pengaruh K-Pop. Padahal pengenalan kultur merupakan hal yang sangat penting untuk membentuk imajinasi dalam komunitas penulis.
“Masyarakat di Indonesia atau di Singapura dan Filipina merasa mereka bagian dari Korea Selatan, daripada Asia Tenggara, karena kekuatan K-pop dan drama Korea. Jadi intinya, saya sangat percaya adanya kekuatan budaya populer dan produk budaya dalam membentuk imajinasi masyarakat. Jadi kita harus membangun imajinasi semacam itu bahwa kita adalah satu komunitas.” tandas Okky Madasari.
